10/10/11

Candaka

Sulit dipercaya. Mereka orang-orang tangguh. Semuanya pendekar hebat. Semuanya, juga, pembunuh bayaran profesional. Tapi Candaka rupanya lebih dari sekedar hebat. Ia baru saja menghabisi mereka semua dalam waktu singkat. Tidak lebih dari sepuluh detik.
Sekarang ia menatapku.
”Pergilah, Kamarastra!” ia berkata. ”Mengingat pertemanan kita, aku tak ingin membunuhmu.”
”Begitu?”
”Jangan berlagak bodoh! Kau tak pernah bisa menang dariku.”
Aku benci mengakuinya, tapi ia benar. Bahkan dulu aku tak pernah bisa mengalahkannya. Sekarang, mengimbanginya pun rasanya akan sangat sulit. Mungkin malah mustahil.
”Maaf sekali, Candaka.” aku berusaha terdengar seelegan mungkin. ”Sepertinya aku tak bisa mengabulkan permintaanmu.”
Aku tidak bohong. Dalam kesempatan lain aku akan menghindari lawan seperti Candaka ini. Apalagi, ia jelas berkali lipat lebih kuat ketimbang dulu. Atau, aku bisa saja menuruti nasihatnya dan kabur secepat mungkin, mumpung ia masih cukup bijak untuk tidak langsung menyerangku. Sayangnya, saat ini aku tidak bisa.
”Kalau begitu kau akan bernasib sama seperti teman-temanmu itu!”
”Jangan salah sangka.” aku menatap mayat orang-orang yang baru saja dibunuhnya. ”Mereka bukan temanku. Ini hanya soal bisnis.”
Sekali lagi, aku tidak bohong. Tak jauh dari tempatku saat ini, sepuluh jasad bergeletakan, penuh luka dari kaki sampai kepala. Luka berupa sayatan-sayatan kecil, namun dalam. Setiap bagian tubuh mereka robek hingga pembuluh darah di dalamnya. Mereka memang bukan temanku. Kebetulan saja kami sedang memburu orang yang sama. Yaitu Candaka. Ini murni hanya urusan bisnis. Aku butuh uang.
”Tak kusangka kau serendah itu, Kamarastra.” Candaka berkata sinis.
Aku tidak menyahut. Tak peduli apa pendapatnya tentangku. Aku masih menatap lautan mayat itu. Menghadapi tiga dari sepuluh orang itu saja, aku pernah hampir mati. Aku berhasil selamat saat itu hanya karena keberuntungan dan sedikit tipu muslihat. Sekarang aku sungguh berharap keberuntungan itu masih ada. Tidak. Kuharap aku lebih beruntung dari waktu itu, mengingat lawanku ini.
”Oke. Kuberi kau kesempatan, Kamarastra. Aku masih memandang pertemanan kita. Jadi jika kau pergi sekarang juga, aku tak akan membunuhmu. Lagipula, kau bahkan tak setangguh sepuluh orang tadi.”
Aku tak mau repot-repot menanggapi pernyataannya yang jelas-jelas meremehkanku. Mau bagaimana lagi, aku memang hanya pendekar kelas menengah, sedang ia baru saja menghabisi sepuluh pendekar kelas atas.
Mengadu kekuatan langsung dengan Candaka berarti memilih mati konyol. Sepuluh mayat yang bersimbah darah itu telah membuktikannya. Candaka bisa saja membunuhku hanya dalam satu jurus. Perbedaan kekuatan kami terlalu jauh. Kalau dipikir-pikir, aku masih hidup sampai saat ini saja sudah merupakan suatu keberuntungan. Dan aku bermaksud memperpanjang keberuntungan itu. Aku perlu strategi.
”Sekali lagi aku harus minta maaf padamu, Candaka.” Aku berkata. ”Sayang kan, kalau menyia-nyiakan imbalan yang begitu besar atas kematianmu.”
Sesaat ia diam. Kami hanya saling bertatapan. Lalu, ia menarik nafas dalam-dalam, dan mengangkat pedangnya dengan gerakan malas.
”Baiklah. Aku sudah memberimu kesempatan, Kamarastra. Bagaimanapun, kuakui kau memang bernyali besar.”
”Oh. Kuanggap itu pujian. Terima kasih.”
”Sekarang, dengan sangat menyesal, aku harus memintamu bersiap untuk mati!”
Ia maju.
Aku melompat, mundur ke tepi hutan. Sangat penting untuk menjaga jarak dengannya.
Batu besar yang tadi kupijaki terbelah dua oleh tebasan pedangnya. Buset! Nyaris saja aku bernasib seperti batu itu.
Angin berhembus dari sebelah kiriku. Muncul siasat.
Candaka menyerang lagi.
Aku mengelak ke kiri, lalu mundur ke arah datangnya angin sambil menyapu udara kosong dengan tangan kanan: merapal Ajian Halimun.
Aku berhenti tepat di samping sebelah pohon. Bagus.
Kabut pekat datang mendadak, menyelimuti area pertarungan, pertanda Ajian Halimun-ku mulai beraksi. Candaka tak luput dari selimut kabut ini, karena memang ia sasarannya.
Akibat kabut, Candaka pasti tak bisa melihatku, seperti aku juga tak bisa melihatnya. Tetapi, kami tetap bisa saling mengetahui posisi masing-masing dengan cara merasakan hawa hidup kami. Orang sekuat Candaka memiliki hawa hidup yang sangat kuat, sehingga dapat terasa dengan sangat jelas. Tapi hawa hidupku yang sedang-sedang saja ini hanya akan terasa samar olehnya dalam kabut yang semakin pekat ini. Ini keuntungan buatku.
Aku mengeluarkan sebungkus rokok dari saku, mengambil sebatang, lalu menyalakannya. Hei, aku tidak sedang main-main saat ini. Ini bagian dari siasatku.
Aku menghisap rokokku dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya kuat-kuat. Selain angin yang berhembus kencang dari belakangku, keuntungan lainnya adalah pohon di sampingku, yang masih berada dalam jarak pandangku, dalam kabut pekat ini. Aku menyentuh pohon itu, mentransfer sebagian hawa hidupku padanya, lalu menyembunyikan hawa hidupku sendiri.
Kini aku tinggal menunggu. Kalau dugaanku benar, Candaka pasti akan menyerang sebentar lagi. Aku bersiap, mengatupkan kedua tanganku. Kalau siasatku berjalan lancar, Candaka akan memakan umpan yang kusiapkan. Saat itulah kesempatanku datang. Terlambat sedikit, aku bisa tewas.
Hawa hidup Candaka mulai bergerak, mendekat… dan—
Waktunya tiba. ‘Ajian Lapuk Sukma’.


***
Hampir satu jam lewat tengah malam. Semilir angin membelai padang rumput di tepi hutan, mengantar aroma tanah yang basah oleh embun, mempertemukannya dengan anyir darah dari jasad-jasad yang terbungkus sunyi kematian: pemandangan yang kurang pantas untuk langit yang seolah tengah tersenyum lewat bulan separuhnya.
Aku duduk bersila, melakukan meditasi pemulihan. Beberapa meter dariku, Candaka rebah tanpa daya.
Candaka. Sepuluh tahun sudah aku tidak melihatnya. Ia menghilang setelah empat setengah tahun kami bersama dalam satu perguruan. Kabar tentangnya pun baru terdengar olehku sekitar dua atau tiga tahun lalu. Candaka: Pendekar Pedang Musim Gugur. Ia tengah naik daun kala itu. Banyak pendekar pilih tanding, bahkan beberapa pendekar legendaris tumpas di tangannya. Namanya benar-benar menggemparkan seantero rimba persilatan.
Aku sempat berpikir tak akan bertemu dengannya lagi, sampai tujuh hari yang lalu, saat aku menemui seorang Tuan Tanah di desa Kembang Wetan. Sebelumnya, aku sudah beberapa hari berada di desa itu, di rumah Ki Saji. Ki Saji menemukanku dalam keadaan pingsan dan luka parah di tepi sungai, lalu membawaku ke rumahnya, dan merawatku. Saat kondisiku mulai membaik, aku baru tahu kalau Ki Sji terbelit hutang pada seorang Tuan Tanah di desa itu. Dan dari Ki Saji pula aku tahu kalau Tuan Tanah itu menjanjikan imbalan mahal bagi siapa pun yang dapat membunuh kekasih anak perempuannya. Pasalnya, si Tuan Tanah tak merestui percintaan mereka.
Maka aku pun pergi ke rumah si Tuan Tanah untuk melamar pekerjaan itu. Di sana aku bertemu dengan sepuluh orang yang bertujuan sama denganku. Aku cukup terkejut—sedikit minder juga—karena tiga di antara mereka adalah orang-orang yang pernah hampir membunuhku, sedang tujuh lainnya terlihat sama tangguh dengan mereka. Tapi ternyata itu bukan masalah, karena si Tuan Tanah menerima kami semua, dan membiarkan kami melakukan pekerjaan itu dengan sistem kompetisi. Ia juga menaikkan bayarannya.
Mendengar hal ini, sifat tamak dari sepuluh pendekar itu segera terlihat. Mereka saling berlomba, karena yang berhak mendapat bayaran hanyalah orang yang membunuh kekasih anak perempuan si Tuan Tanah. Beberapa bahkan berkomplot dengan perjanjian bagi hasil. Dan, karena si Tuan Tanah juga menentukan batas waktu, mereka pun bergegas melakukan pekerjaannya..
Tapi tidak denganku. Aku shock saat mengetahui bahwa ternyata buruan kami —kekasih anak perempuan Tuan Tanah itu—adalah Candaka, teman lamaku. Karenanya aku bergerak lebih santai. Malah terkesan enggan. Aku harus melakukan pekerjaan ini. Ki Saji butuh uang untuk membayar hutangnya. Aku ingin membalas kebaikan orang tua itu padaku. Reputasi Candaka yang demikian hebat tidak mengendurkan niatku. Meski, aku cukup menyesal harus bertemu teman lamaku itu dalam situasi seperti ini.
Aku juga sedikit geli karena ternyata masih ada orang sekolot Tuan Tanah itu. Padahal kekasih anak perempuannya itu pendekar yang sangat hebat. Bukankah akan lebih bermanfaat kalau dijadikan menantu? Atau mungkin ada dendam antara mereka—Candaka dan Tuan Tanah itu maksudku. Ah, biarlah. Itu bukan urusanku.
Yang penting, aku harus mendapat uang untuk membayarkan hutang Ki Saji. Biarpun untuk itu aku harus mengesampingkan sebuah pertemanan. Orang yang ada dan menolongku saat aku tengah sekarat adalah Ki Saji. Bukan Candaka.
Pada hari perburuan ke tujuh, yaitu malam ini, Candaka berhasil kami temukan. Aku sedikit terlambat, tapi aku tidak malu mengakuinya karena justru keterlambatan itulah yang membuatku selamat, meski dengan luka yang cukup parah. Aku datang saat pertarungan sepuluh lawan satu baru dimulai. Dan, karena firasat semata, aku tidak langsung bergabung dalam pertarungan itu. Aku mengamati bagaimana Candaka membunuh mereka semua dengan begitu mudah.
Selebihnya, kalian sudah membacanya di awal cerita ini.
”Kapan kau melakukannya, Kamarastra?” Candaka bertanya.
”Apa?”
”Racun Pelemah Otot….”
Ah. Ketahuan.
Aku tidak menjawabnya. Kuambil sebatang rokok lagi, lalu manyalakannya.
”Oh, begitu…” Candaka berkata lagi. ”Kau menjebakku dengan pohon itu, sambil menunggu racunnya mulai bereaksi. Sialan! Seharusnya aku menyadarinya.”
Tepat sekali.
Oke, daripada kalian penasaran, lebih baik kujelaskan saja.
Ada dua faktor yang membuatku mengalahkan Candaka malam ini: angin dan pohon. Pertama, aku sengaja menghindari serangan Candaka dengan bergerak mundur ke arah datangnya angin. Aku juga merapal Ajian Halimun saat itu, ingat? Saat kabut mulai menghalangi pandangan kami—akibat Ajian Halimun-ku, aku lalu merokok dan menghembuskan asapnya sambil meniupkan Serbuk Pelemah Otot. Serbuk yang kucuri dari seseorang berjuluk Racun Barat saat aku bertarung dengannya beberapa bulan lalu. Serbuk ini memiliki bau khas. Karena itulah aku menyamarkannya dengan bau asap rokok. Angin yang bertiup dari belakangku sangat berpengaruh di sini. Angin itu mengirimkan Racun Pelemah Otot-ku pada Candaka.
Faktor kedua adalah pohon. Aku sengaja mentransfer hawa hidupku pada pohon itu, lalu menyembunyikan hawa hidup yang masih ada padaku. Bagi Candaka, yang saat itu terhalang kabut pekat, ia akan mengira aku bergeser atau sedikit berpindah tempat. Sebenarnya aku memang berpindah tempat dengan mejauhi pohon itu beberapa langkah, tapi Candaka mengira pohon itu adalah aku, atau tempatku berada, karena ia merasakan hawa hidupku di sana.
Jika digabungkan, jadinya akan seperti ini:
Saat Candaka maju untuk melancarkan seranga ketiganya padaku, ia menghirup Racun Pelemah Otot. Racun itu mulai bereaksi saat ia menebas pohon yang dikiranya adalah aku. Saat itu aku sudah menunggunya dengan Ajian Lapuk Sukma (Sebenarnya ini ajian jahat dan aku tak mau menggunakannya. Tapi menghadapi lawan sekuat Candaka, apa boleh buat? Aku benar-benar kepepet).
Ketika Candaka menyadari bahwa pohon itu hanya jebakan, ia juga pasti menyadari di mana posisiku. Hawa hidup yang kusarangkan di pohon itu musnah saat Candaka menebasnya, sementara hawa hidup yang masih ada padaku bangkit karena aku tengah merapal Ajian Lapuk Sukma.
Aku sudah menduga Candaka pasti akan langsung menyerangku lagi begitu ia tahu dimana aku. Aku mengenalnya. Candaka adalah orang yang tak pernah mau direpotkan oleh segala remeh-temeh. Tetapi, ia telah dibuat repot oleh kabut dan pohon jebakanku. Dan jika merasa direpotkan, ia akan bertindak tanpa pikir panjang.
Dugaanku benar. Candaka memang langsung menyerangku, dengan jurus andalannya pula: jurus Pedang Musim Gugur. Ia tak sadar, bahwa daya tempurnya telah berkurang akibat Racun Pelemah Otot.
Bahkan dalam kondisi seperti itu, ia masih terlalu kuat. Tetap saja aku bisa mati jika kena serangannya dengan telak. Di sinilah Ajian Lapuk Sukma berperan. Meski untuk itu, aku harus sedikit menerima serangan Candaka. Resikonya cukup besar memang, tapi tak ada cara lain. Aku juga tak berharap bisa mengalahkan Candaka tanpa terluka.
Daripada memaksakan diri mengimbangi Candaka—yang jelas tak mungkin bagiku, aku memilih membuatnya jadi berimbang denganku, meskipun hanya dari segi tenaga. Daya tempur yang telah menurun, diperparah Ajian Lapuk Sukma yang menggerogoti hawa hidupnya, memberiku peluang untuk melakukan serangan balik. Aku menyambar kesempatan itu, mengerahkan segenap tenagaku.
”Kau mempertaruhkan semuanya dalam waktu sesingkat itu, Kamarastra.” suara itu lemah.
Seratus persen benar.
Kalau Candaka masih bisa bertahan dari seranganku, itu artinya buruk. Aku tak akan punya kesempatan hidup lagi. Tapi itu tidak terjadi. Seranganku rupanya tepat sasaran. Ditambah lagi, ia semakin melemah saat itu. Hasilnya, tidak percuma.
”Kenapa…” ia berkata lagi, ”kau tidak membunuhku?”
Aku berdiri, mengambil jaket yang tadi kutanggalkan saat meditasi pemulihan, lalu memakainya.
”Aku tidak bisa.” kataku datar. ”Tak ada gunanya.”
Aku tidak sedang berbaik hati karena perasaan iba, pertemanan, kemanusiaan, atau semacamnya. Ada dua alasan: pertama, aku sudah kehabisan tenaga. Menang, mungkin, tapi hanya untuk saat ini. Menggunakan serangkaian jurus dan ajian, yang walaupun sederhana—hanya ‘Lapuk Sukma’ yang bisa dibilang jahat atau berbahaya—tapi sangat efektif, seperti tadi, telah menguras staminaku. Aku tak sanggup mengerahkan tenaga untuk bertarung lagi lebih dari ini. Setengah jam meditasi pemulihan hanya mengembalikan sedikit energi saja.
Alasan kedua adalah…
”Batas waktunya telah lewat.” aku berkata, menatap Candaka yang terbaring lemah kehilangan sebagian besar kekuatannya. ”Sudah lewat tujuh hari. Kalaupun aku membunuhmu sekarang, memenggal kepalamu, dan membawanya ke rumah tuan tanah itu, aku hanya akan menjadi mangsa orang-orang lain suruhannya. “
Nah. Tidak ada gunanya, kan?
”Saat ini,” aku berkata lagi, ”segerombolan pembunuh bayaran lain pasti sudah memburumu. Kabar terdengar sangat cepat di rimba persilatan ini. Kalau sampai terdengar kau mati di tanganku, orang-orang itu pasti akan balik memburuku. Aku punya cukup pengalaman dengan orang-orang seperti mereka. Tak ada yang lebih mereka pentingkan selain diri mereka sendiri.”
”Apa kau tidak, ha?”
Sudah kukira ia akan bertanya seperti ini.
”Aku punya alasan sendiri.” kataku ”Kau tak perlu tahu.”
Memang. Ini urusanku sendiri. Terserah ia mau berpendapat apa.
Aku merogoh saku jaketku, mengeluarkan sebuah botol kecil, lalu melemparkannya pada Candaka. Botol itu jatuh tepat di sampingnya.
”Itu penawar Racun Pelemah Otot.” aku berkata. ”Orang sekuat kau akan pulih hanya kira-kira sejam dari sekarang.”
”Bunuh saja aku sekarang, Kamarastra!”
”Kalau itu maumu, lakukan saja sendiri, setelah kau pulih nanti. Aku tak mau buang-buang tenaga lagi. Pekerjaanku telah gagal sejak tengah malam tadi. Dan, sudah kukatakan padamu, kalau saat ini pasti telah ada segerombolan orang lain yang memburumu. Menggantikanku,” aku melirik sepuluh mayat yang bergeletakan, ”dan sepuluh orang itu.”
Hening. Angin bertiup perlahan. Kuhisap rokokku dalam-dalam, menatap langit. Bulan separuh semakin condong ke barat.
”Bagimu, Candaka, orang-orang itu mungkin tak ada apa-apanya. Tapi tidak bagiku. Aku tak mau cari mati. Sebenarnya aku heran: dengan kemampuan yang kau miliki, kenapa harus lari jika kau benar-benar mencintai anak perempuan Tuan Tanah itu?”
Candaka berusaha duduk. Kasihan juga melihatnya dalam keadaan seperti ini. Setelah duduk, ia menatapku, seolah hendak mengatakan sesuatu.
”Jangan bicara!” aku buru-buru mencegahnya saat ia akan membuka mulut. ”Bereskan saja masalahmu sendiri. Aku harus pergi. Aku masih ada urusan.”
Aku memang tidak ingin mendengar apa pun darinya saat ini. Lain waktu bolehlah. Mungkin sambil nongkrong dan minum kopi. Tapi tidak sekarang.
”Dengar Candaka:” kataku, ”lima ratus juta terlalu murah untuk nyawamu. Mengalahkanmu saja harusnya lebih mahal dari itu. Tapi banyak orang terlalu bebal untuk menyadarinya. Dan saat ini, anggap saja aku kebetulan unggul darimu, seperti pertemuan kita yang bagimu juga kebetulan ini.”
Candaka terdiam, merunduk, memandangi botol berisi penawar racun di depannya. Botol seukuran telunjuk orang dewasa itu kini basah oleh embun. Dini hari ini, kurasa lebih lembab dari biasanya.
Candaka. Bahkan dulu, saat kami masih sering bersama-sama, aku merasa seakan ada dinding tak terlihat yang memisahkannya dariku. Sekarang pun rasanya dinding itu masih ada. Meskipun, wajar memang, karena ini pertemuan pertama kami setelah sepuluh tahun. Ah, sudahlah. Ia punya masalahnya sendiri. Aku punya urusanku sendiri.
Dengan kondisi seperti ini, aku masih bisa menempuh lima puluh kilo. Dalam jarak sejauh itu ke arah tenggara, ada sebuah kota kecil. Aku lupa namanya. Tapi di sana aku punya cukup waktu untuk memulihkan diri. Mungkin, di tempat itu juga ada pekerjaan yang bisa kudapatkan. Aku masih harus mencari uang untuk membantu Ki Saji membayar hutangnya.
Aku berbalik, memunggungi Candaka, lalu pergi meninggalkannya setelah hisapan rokok terakhirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar